Sabtu, 09 Januari 2010

Catatan Azrul Ananda


Nyangkut belasan jam di bandara sebenarnya bukan kisah istimewa. Nyangkut belasan jam di Bandara Soekarno-Hatta, juga mungkin bukan kisah luar biasa. Hanya saja, 15 jam lebih yang saya habiskan di bandara kemarin membuat ada penumpukan cerita-cerita kecil yang membuat jari-jari saya gatal untuk mengetik. 

Mulai hampir kejatuhan air dari plafon, sampai dikira jadi petugas bandara dan berkali-kali ditanya kapan pesawat bakal berangkat. 

Semoga keisengan saya untuk menulis ini bisa menjadi bagian dari "sisi lain" bencana banjir di Jakarta kemarin. Toh berita kekacauan bisa Anda dapatkan dari sumber mana saja. Televisi, radio, internet, dan koran-koran lain. 

Bagi saya, rekor nyangkut terlama di bandara masih tiga hari yang saya habiskan di Hongkong, saat akan meliput serangan 11 September 2001 di New York. Tiga hari saya mondar-mandir, menunggu pesawat pertama yang terbang ke Big Apple. Nyangkut-nyangkut yang lain terjadi di Chicago karena salju, atau berjam-jam transit di Singapura. 

Enaknya, di tempat-tempat itu, waktu bisa lewat tanpa sengsara. Karena banyak toko dan hiburannya. 

Kemarin saya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sedikit lewat pukul 07.00 pagi naik Garuda. Bukan untuk ke Jakarta, melainkan untuk transit menuju Palembang, mengikuti pembukaan kompetisi basket SMA, Honda DetEksi Basketball League 2008, di sana. 

Karena penerbangan lanjutan masih dijadwalkan pukul 09.30, saya pun santai. Cari-cari majalah, makan nasi padang di Singgalang Jaya seberang Starbucks. Sambil makan nyalakan laptop, internetan. 

Sama sekali tidak terbayang hujan superlebat bakal menerpa, apalagi sampai membuat penerbangan se-Indonesia kacau. 

Tanda-tanda kacau terjadi setelah makanan saya habis. Sambil baca Yahoo! Sports mengecek skor pertandingan basket NBA terbaru, tiba-tiba ada sedikit kepanikan. Rupanya plafon di jalur masuk tempat makan yang luas ini ambrol. Air tidak turun menetes, tes, tes. Tapi jatuh byur, byur. 

Pikir saya waktu itu masih enteng: "Untung saya tidak duduk di meja-meja pinggir itu seperti biasanya. Kalau tidak, bisa basah dan hancur laptop Apple kesayangan saya ini." 

Dengan santai, saya lalu berjalan menuju gate penerbangan ke Palembang itu. Hujan deras jelas terlihat. Penerbangan tertunda, kata petugas dengan ramah. Kemungkinan mundur sampai jam 11. Belum ada bayangan bakal ada masalah besar di luar. 

Karena masih lama, dan perut saya masih kenyang, saya pinjam saja salah satu kursi petugas itu, duduk mengetik lagi di meja bersama sang petugas. Mungkin karena saya pakai sepatu pantofel hitam dan celana kain hitam, plus polo shirt biru yang dimasukkan rapi, banyak orang mengira saya petugas. Mau tidak mau, ya saya ikutan jawab saja kalau tertunda sampai jam 11. 

Penerbangan ke Palembang tertunda lagi. Kali ini sampai jam 12 siang, katanya. Saya mulai pasrah. Kayaknya tidak mungkin bisa ikut pembukaan pertandingan di Palembang nih. Meski penerbangan Jakarta-Palembang tak sampai satu jam, tapi sulit bisa tiba sebelum jam 14.00, saat pertandingan pertama dimulai. 

Ya sudah, saya duduk di situ, santai ngetik dan telepon-teleponan sama rekan-rekan soal tidak mungkinnya hadir saat pembukaan, sekaligus membicarakan rencana-rencana pengganti acara andai saya tidak hadir tepat waktu. 

Orang pun terus berdatangan, dengan nada makin keras, menanyakan kejelasan jadwal penerbangan. Orang-orang lain datang menitipkan tas kepada saya. Mulanya saya ya bilang maaf bukan petugas, tapi lama-lama ya sudah. Makin lama makin banyak tas titipan di sebelah saya duduk. 

Karena orang yang bertanya nadanya makin serius, dengan arah makin marah, ketika ada waktu senggang saya ngobrol saja dengan petugas di samping. "Wah, seru ya kalau ada delay begini?" tanya saya iseng. 

Dari situ, sesama petugas pun ngobrol tentang kisah komplain paling seru. Kadang, cerita mereka, sampai ada yang naik meja dan merusak layar monitor! 

"Penerbangan ke mana yang orang-orangnya paling seram kalau marah?" tanya saya. 

"Biasanya penerbangan ke Mxxxx dan Mxxxxxxx. Orangnya keras-keras," jawabnya. 

Sekitar jam 13.00, ketika pesawat tak kunjung tiba (pesawat yang seharusnya membawa saya ke Palembang itu dimendaratkan dulu di Semarang), saya pun memutuskan untuk melupakan pertandingan basket di Palembang. 

Saya langsung switch tiket saya ke Pekanbaru, karena Sabtu hari ini pertandingan Honda DBL 2008 juga diselenggarakan di Rumbai. Jangan sampai gara-gara saya ke Palembang, rencana ikut pembukaan di Pekanbaru ikut buyar. Meskipun dalam hati berat juga, karena tidak bisa menyaksikan kompetisi basket SMA yang saya bidani sendiri. 

Dari situ, saya jalan ke salah satu executive lounge. Maunya ngemil. Saat mau masuk, banyak orang berdandan perlente ngotot bertanya kepada resepsionis lounge. Bertanya kapan pesawat berangkat dan kenapa tidak segera berangkat ketika langit terlihat makin terang. 

Kasihan juga resepsionis itu. Tidak ikut mengatur cuaca, diomeli orang-orang berdandan rapi. 

Dan kalau dipikir, orang-orang berdandan rapi itu otaknya (atau logikanya) kurang berfungsi juga ya? Wong jelas cuaca buruk. Di televisi sudah kelihatan kalau Presiden SBY saja sampai terjebak kemacetan dan harus ganti mobil. Kalau pun terang, kan tidak ada pesawatnya karena berceceran di Palembang, Semarang, Halim Perdana Kusuma, dan bandara-bandara lain. 

Saya sih, masih santai saja. Beli beberapa majalah lagi. Internetan lagi tanpa pusing cari hot spot (terima kasih Globetrotter!). 

Sore. Belum ada kabar. Pesawat ke Pekanbaru yang saya naiki dijadwalkan berangkat pukul 15.15. Saya jalan saja masuk ke ruang tunggu di gate. Pertama dengerin iPod, baca-baca majalah. Tamat dan bosan, cari tempat duduk yang enak internetan. 

Ada, di belakang televisi di ujung ruang tunggu. Ada banyak colokan setrum, bisa nge-charge handphone dan laptop. Kurang enaknya satu, tidak bisa duduk. 

Saya pinjam saja salah satu meja petugas (berikut kursinya) yang terpasang di pintu masuk ruang tunggu. Saya angkut ke belakang televisi. Voila! Jadilah meja kerja. Tulisan MotoGP, Formula 1, dan NBA All-Star yang bisa Anda baca di Halaman Olahraga hari ini saya ketik di belakang televisi ruang tunggu. 

Seorang bapak-bapak lantas ikutan menarik kursi. Saya mengetik di ujung meja, dia menggarap pekerjaan di ujung meja lain. 

Semua selesai, internetan lagi. Lihat-lihat sepatu baru di situs-situs sepatu. Televisi yang membelakangi saya terus menceritakan kehebohan banjir dan macet Jakarta. 

Pikir hati saya: Untung saya bukan orang Jakarta. Orang kok umurnya habis kena macet dan masalah… 

Untung Surabaya yang saya cintai belum sampai seperti Jakarta. Tolong Pak Bambang DH (wali kota), Pak Arif Afandi (wakil wali kota), Bu Risma (Tri Rismaharini, kepala Bapeko), jangan biarkan Surabaya jadi seperti Jakarta ya? Quality of life di Surabaya itu termasuk T-O-P. Ayo pertahankan dan tingkatkan. 

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Pesawat belum berangkat. Begitu pula pesawat "asli" saya yang ke Palembang, yang seharusnya sudah berangkat sejak pukul 09.30 pagi. 

Alamak! Sinyal telepon hilang. Wah, internetan bisa, telepon gak bisa. Untung anak-anak DetEksi Jawa Pos di Palembang mengirim tulisan pembukaan Honda DBL di sana pakai email. Jadi saya bisa mengikuti perkembangan lewat email meski sulit telepon. 

Ketika di toilet, saya bertemu dengan orang yang sedang ganti baju. Basah semua. Katanya, jalan tol menuju bandara banjir abis. "Sampai setengah bodi mobil Kijang Innova. Ada Mercy baru gres tenggelam sampai ke atap. Saya naik ojek tapi berdiri di atas jok," tuturnya bersemangat, sambil menunjukkan rekaman video di handphone-nya (viva citizen journalism!). 

Ada perkembangan baru. Pesawat saya dijadwalkan berangkat jam 19.00. Sejam kemudian, dijadwalkan berangkat jam 20.35. Untung telepon sudah "menyala" pukul 20.00-an. Saya ngobrol dengan para redaktur pelaksana Jawa Pos di Surabaya. Tulisan ini saya buat kemudian. Ketika paragraf ini diketik jam menunjukkan pukul 21.13. Pesawat saya ke Pekanbaru belum berangkat. Begitu pula pesawat "asli" saya yang seharusnya berangkat pukul 09.30 ke Palembang. 

Dalam hati, saya pun menyanyikan penggalan lagu nasional populer: "Itulah Indonesiaaaaa…." (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar